Kurikulum Sebagai Praktik Diskursif
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang
Abstract
Artikel
ini membahas tentang kurikulum sebagai praktik diskursif. Di mana ada beberapa
isu kesalahpahaman penerapan praktik diskursif dalam dunia pendidikan dibahas.
Dimuali dari konsep bagaimana kurikulum sebagai parktik diskursif dalam
beberapa perspektif kemudian problematika penerapan praktif diskursif dalam
dunia pendidikan dan berbagai faktor-faktor
yang mempengaruhi. Kurikulum sejatinya adalah untuk mengarahkan segala
bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan
. Namun
dengan adanya perspektif lain seperti kurikulum sebagai praktik diskursif telah
menimbulkan berbagai macam kesalahpahaman. Dalam
pembahasan ini peran kurikulum diulas apa peranannya dalam proses pendidikan
dan juga sebagai ruang praktik diskursif. Pembahasan yang terahir yaitu upaya
terkait dengan penerapan praktik diskursif dalam pendidikan dan kurikulum
sebagai praktik diskursif.
Kata Kunci: Praktik
Diskursif, Kurikulum, Pendidikan
1.
Pendahuluan
Salah
satu indikator keberhasilan dalam pendidikan dapat dilihat dari kurikulum yang
diterapkan dalam sekolah. Karena Kurikulum dibuat oleh lembaga pendidikan yang
dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan
untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu. UU RI No. 20 Tahun
2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 dijelaskan, bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana-rencana pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran mencapai pembelajaran tersebut. Kurikulum juga digambarkan sebagai
bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh para guru dalam
melaksanakan pembelajaran untuk para peserta didiknya. Jadi segala hal yang
berhubungan dengan proses pembelajaran dalam pendidikan telah disusun dan
diatur dalam kurikulum.
Kurikulum
mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Dengan kata lain bahwa kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan yaitu pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa
memegang peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Maka, kurikulum sebagai
alat untuk mencapai tujuan harus mampu menghantarkan anak didik menjadi manusia
yang bertaqwa, cerdas, terampil dan berbudi luhur, berilmu, bermoral, tidak
hanya sebagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada murid semata-mata,
melainkan sebagai aktivitas pendidikan yang di rencanakan untuk dialami, diterima,
dan dilakukan (Sukmadinata dalam Susilo, 2007:9-10).
Dari tujuan
pendidikan tersebut, sudahlah jelas bahwa melalui kurikulum dapat mengantarkan
peserta didik memperoleh pengetahuan dan kecerdasan melalui materi yang sudah
dirancang dalam kurikulum. Melihat begitu pentingnya peran kurikulum dalam
pendidikan, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta
didik. Namun demikian dalam praktiknya kurikulum banyak ditemukan
ketidaksesuaian tujuan awal dari penerpan kurikulum itu sendiri. Seperti halnya
adanya problematika praktik diskursif yang terjadi dalam pendidikan.
Berbicara mengenai praktik diskursif
tidak terlepas dari yang namanya pengetahuan dan kecerdasan peserta didik,
karena pada dasarnya pengertian dari diskursif itu sendiri adalah berkaitan
dengan pengetahuan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari kurikulum yang
mampu mewujudkan tujuan pendidikan. Namun dalam praktik diskursif ini,
pengetahuan dan kekuasaan adalah hal yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Sehingga praktik diskursif ikut terlibat dalam pelaksanaan
pendidikan, di mana terjadi kekliruan penafsiran terkait tujuan kurikulum dalam
pendidikan. Melalui praktik inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahan namun di
anggap lazim oleh masyarakat. Seperti halnya adanya penyebutan orang “pintar”
dan “bodoh” adanya pengelompokan orang cerdas dan bodoh. Dengan
demikian tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai kurikulum sebagai praktik diskursif.
2.
Pemikiran
Michel Foucalt mengenai praktik diskursif
Nama Foucalt tidak sepopuler
Durkheim dalam kajian sosiologi pendidikan. Keduanya adalah teoritikus dari
perancis yang lahir pada generasi yang berbeda. Michel Foucalt lahir di
poitiers, Perancis pada 15 Oktober 1926. Foucalt adalah seorang filsuf,
sejarawan, intelektual, kritikus, dan sosiologi. Pemikiran Foucalt yang paling
fenomenal adalah terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilu kemanusiaan dan
sistem penjara, dan seksualitas.
Dalam penelitian pendidikan, Foucalt
paling dikenal pada pertengahan hingga akhir 1970-an. Pengaruh pemikiran
foucalt dalam masalah pendidikan tidak dapat disangkal lagi dan berkembang
dengan cepat. Ialah yang mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan pengetahuan. Dia berusaha mempengaruhi
banyak pemahaman dalam cara melihat kekuasaan dan produksi pengetahuan.
Praktik diskurtif merupakan salah satu
dari kegiatan dalam kekuasaan. Menurut foucalt kekuasaan tidak hanya berupa
penidasan, namun dia beranggapan bahwa kekuasaan bekerja dengan pelaksanaan
normalisasi dan regulasi (Hidayat, 2013). Untuk melaksanakan
normalisasi dan regulasi dibutuhkan yang namanya perantara, jika dalam bidang
pendidikan maka salah satu perantaranya yaitu kurikulum.
Menurut foucalt kekuasaan itu
memproduksi pengetahuan (Hidayat, 2013). Sehingga penguasa
membutuhkan cara untuk memproduksi pengetahuan, salah satunya dengan melalui
kurikulum. Dengan kurikulum penguasa bisa memainkan perananya dengan aturan- aturan yang dibuatnya, dengan materi yang akan
diajarkan dan kebijakan- kebijakan lain yang dapat membuat keadaan seperti yang
diinginkan oleh penguasa.
Secara terpisah, metode genealoginya mengenai subjek manusia, sejarah
subjetivitas, dan analisisnya mengenai bagaimana hubungan kekuasaan,
pengetahuan dan wacana (discours)
yang merombak proses etika diri telah membuktikannya sebagai pendekatan yang
sangat kuat. Konsep-konsep tersebut bermanfaat untuk mengembangkan sejarah
kritis mengenai anak, siswa, dan sekolah sebagai bahan penelitian mengenai
konsep-konsep pendidikan, kategorisasi, dan kelembagaan.
Foucalt menggunakan istilah wacana
untuk menjelaskan sifat-sifat pengetahuan. wacana merupakan cara atau
pendekatan yang digunakan individu untuk memahami dunia (sosial). Wacana tidaklah dipahami sebagai
serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi adalah sesuatu yang
memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat
dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan
hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir
atau bertindak. Secara sederhana wacana juga dapat dimaknai sebagai
otoritas (kekuasaan) untuk mendeskripsikan sesuatu yang dipropangandakan oleh
suatu institusi.
Disini kekuasaan tidak dirtikan
sebagai penguasa atau pemilik, karena Foucault menolak pandangan yang
menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang bekuasa (raja, negara, pemerintah,
ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi atau menidas.
Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif, tidak berkeja secara negatif
dan represif, melainkan secara positif dan produktif. Kuasa memprodusir
realitas , memprodusir lingkup-lingkup objek-objek dan ritus-ritus kebenaran.
Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi
dan regulasi, menghukum dan membentuk publik lewat disiplin. Publik tidak
dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan
didisiplinkan lewat wacana. Kekuasaan disalurkan melalui hubungan sossial,
dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik-buruk,
sebagai bentuk pengendalian perilaku
Kekuasaan menghasilkan pengetahuan
yang dianut (dipaksakan) pada sebagian individu, sehingga kekuasaan dan
pengetahuan saling mempengaruhi satu sama lain secara langsung. Tidak ada
relasi kekuasaan tanpa konstitusi korelatif yang berhubungan dengan pengetahuan
atau pengetahuan akan memberntuk hubungan kekuasaan diwaktu yang sama.
Analisis Foucalt mengenai pendidikan membantu para praktisi pendidikan
untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan seputar standarisasi
kurikulum, standarisasi ujian, proses pembelajaran, serta program manajemen
ruang kelas (Jardine dalam
3.
Kurikulum
sebagai praktik diskursif dalam pendidikan
Gagasan Foucault tentang konsep
kekuasaan menjelaskan bahwa konstelasi kekuasaan menyerap dan bekerja dalam
dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan. Kurikulum
merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh mereka yang berkuasa, salah
satunya adalah negara. Singkatnya, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bekerja
melalui normalisasi dan regulasi. Normalisasi dianggap sebagai upaya
menyesuaikan dengan norma-norma, mengadakan norma-norma. Sementara regulasi
dipahami sebagai menyesuaikan dengan aturan-aturan atau mengadakan
aturan-aturan. Sehingga konsep kekuasaan menurut Foucalt menyebar dalam relasi
sosial melalui praktik diskursif tempat dimana ucapan, tindakan, aturan-aturan
yang di terapkan. Normalisasi dan regulasi ini bekerja pada suatu taraf
kehidupan manusia serta masyarakat dan berfungsi bagaimana semacam alat
penyaring atau mesin sortir.
Seiring perkembangan zaman, dunia
pendidikan turut diwarnai dengan adanya kekuasaan, dimana kekuasaan sangat
mendominasi. Kekuasaan disini tidak diartikan sebagai suatu hal yang berkuasa
namun kekuasaan diartikan sebagai sesutu yang dapat memberikan dampak yang
mengarah pada normalisasi dan regulasi. Selain itu dalam pendidikan juga telah
mendapat campur tangan dari praktik diskusif. Sebenarnya, pengertian diskursif
itu sendiri adalah pengetahuan atau kecerdasan. Memang benar bahwa tujuan dari
pendidikan itu adalah mencerdasakan kehidupan bangsa, dan untuk mewujudkan hal
tersebut dibutuhkan kurikulum.
Dalam dunia pendidikan sering sekali
kita menjumpai penyebutan orang pintar dan bodoh. Memang hal tersebut dianggap
sebagai hal yang lumrah dan wajar. Namun jika kita telaah lebih lanjut, hal
tersebut merupakan salah satu pengaruh dari praktik diskursif. Seperti yang
sudah dijelaskan diatas, bahwa praktik diskursif tidak dapat terlepas dari
pengetahuan dan kekuasaan, karena keduanya saling berkaitan.
Yang awalnya tujuan dari diskursif itu
untuk membentuk peserta didik yang memiliki pengetahuan dan kecerdasan, namun
fenomena sekarang ini malah berbalik arah. Banyak sekali hal-hal yang dianggap
lazim oleh masyarakat, namun sebenarnya hal tersebut merupakan kekeliruan
masyarakat dalam menafsirkan suatu hal.
4.
Problematika
praktik diskursif dalam pendidikan.
Pendidikan pada
dasarnya merupakan salah satu wujud dari berlangsungnya suatu proses
pembelajaran, dimana antar komponen dalam suatu sistem pembelajaran saling
berinteraksi yang biasa disebut dengan kurikulum. kurikulum dapat dikatakan
sebagai jantungnya pendidikan, dalam pendidikan dapat dilihat berhasil tidaknya
suatu pendidikan bergantung dari keberhasilan kurikulum itu sendiri. Namun,
pada akhirnya pendidikan melalui sekolah justru menjadi subyek kekuasaan baru
dalam masyarakat modern. pendidikan melakukan hegemoni kekuasaan dalam proses
produksi pengetahuan dan ilmu pengentahuan. Dalam hal ini, seluruh mekanisme
produksi pengetahuan akan dikontrol dan dikendalikan institusi pendidikan. Ada
beberapa wujud kekuasaan dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini banyak
diperbincangkan mengenai berbagai permasalahan dalam proses berlangsungnya
kurikulum itu. salah satunya yaitu praktik diskursif.
Dalam buku”Sosiologi Pendidikan” Foucalt mencontohkan bahwa pendidikan telah
menetapkan berbagai bentuk standardisasi dalam proses pendidikan. Standardisasi
merupakan instrumen yang digunakan sekolah untuk mengelompokkan dan
mengategorikan siswa dalam beberapa golongan. Melalui standardisasi ini,
sekolah mempunyai hak untuk menentukan apakah seseorang (siswa) dapat memasuki
kelas atau tingkat tertentu atau tidak. Apakah ia termasuk kategori
siswa”bodoh” atau “cerdas”, apakah mereka layak masuk ke bidang ilmu tertentu
atau tidak, dan akhirnya, sekolah akan memiliki hak untuk menentukan “nasib”
dan “masa depan”seorang individu. Foucalt menjelaskan bahwa sekolah dalam
masyarakat modern telah mengotak- kotakan pengetahuan dalam beberapa kategori
yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau
program studi, yang kemudian berdampak pada individu (Martono,
2014).
Sebelumnya
sekolah juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu
mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Mekanisme seleksi masuk
sekolah menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan. Agar individu
dapat menikmati fasilitas pendidikan disekolah tertentu, mereka harus memnuhi
serangkaian kriteria yang telah ditentukan sekolah. Sekolah menjadi pagar utama
yang memberikan penilaian atas kualitas diri individu.
Berdasarkan buku
yang ditulis Martono yang dikutip dari Allen menunjukan bahwa ada pula sistem
tes IQ (Intelligence Quotient) di
sekolah. Tes ini merupakan wujud bekerjanya sistem kekuasaan dalam pendidikan
yang mencoba memetakan dan mengurutkan kemampuan setiap individu secara individual
melalui serangkaian instrumen yang terstandardisasi. Sekolah- sekolah menjadi
“ruang perilaku yang terorganisasi” yang menetapkan norma- norma kemampuan
divergensi terhadap anak sehingga kemampuan mereka dapat dipetakan (2014,
64-65).
Problematika lain
dari praktik diskusif misalnya, kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada
kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-
muridnya satu persatu sepanjang hari sebagai polisi moral. Akan tetapi,
kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol lewat serangkaian mekanisme: ujian
untuk menguji penangkapan murid akan mata pelajaran yang diberikan, mekanisme
kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan murid, dan rangking untuk melihat
tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu membentuk jaring kekuasaan yang
memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga menjadi terkontrol, patuh dan
disiplin. Kalau ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali
dan sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan
dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus menerus. Disini, ruang
kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya
terus- menerus. Kepintaran seseoarang diukur dari raport yang ia terima enam
bulan sekali, kalau buruk ia tidak akan naik kelas,dan kalau tidak naik kelas
ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Disekolah akan
dijumpai berbagai tata tertib yang menjadi indikator perilaku siswa. Tata
tertib ini menjadi standar bagi mereka untuk dapat memahami “bagaimana menjadi
siswa yang baik dan patuh”, sehingga tata tertib juga diposisikan sebagai
standar kepatuhan para murid. Untuk dapat disebut sebagai siswa yang baik,
patuh dan taat, mereka harus berperilaku sesuai apa yang dituntutkan dalam tata
tertib tersebut. Bila perilaku mereka mengikuti tata tertib tersebut, maka
mereka dikatakan “memenuhi standar norma”. Siswa juga harus mengikuti jadwal
kegiatan sehari- hari: mereka harus sampai di sekolah pada jam tertentu,
memulai pelajaran, waktu istirahat, dan waktu pulang sekolah telah terjadwal
dengan rapi. Penjadwalan harian diwujudkan dalam kurikulum dan jadwal
pelajaran. Guru harus menaati kurikulum agar proses pembelajaran berjalan sesuai
tujuan yang telah ditetapkan. Siswa harus memerhatikan jadwal pelajaran: kapan
ia harus berganti pelajaran; kapan saatnya mereka berpindah ruang belajar,
bagaimana menentukan materi belajar di rumah ; sampai jadwal ujian juga telah
ditentukan. Semua diciptakan sebagai upaya mendisiplinkan mereka. Jadwal
kegiatan berfungsi membentuk individu yang taat pada waktu. Hal tersebut
merupakan salah satu contoh praktik diskurtif, dimana seoarang penguasa ingin
membentuk siswa yang memiliki kedisiplinan. Dengan diterapkannya aturan- aturan
tersebut maka menjadi jembatan untuk mewujudkan keinginan penguasa yaitu ingin
menjadikan siswanya menjadi manusia yang mempunyai kedisiplinan.
5.
faktor
adanya praktif diskursif dalam pendidikan
Segala sesuatu terjadi pasti ada faktor
yang menyebabkanya, begitupun juga dengan praktik diskurtif. Yang
melatarbelakangi adanya praktik diskursif pada dasarnya adalah adanya keinginan
dari penguasa untuk membentuk suatu subjek menjadi seperti yang diinginkanya
dan keinginan tersebut diwujudkan melalui kurikulum yang diterapkan dalam
pendidikan.
Selain dari penguasa, faktor lain yang
melatarbelakangi adanya praktik diskursif adalah karena adanya keinginan dari
setiap masyarakat terkait dengan pengakuan. Pengakuan yang dimaksud disini
adalah pengakuan dari setiap individu untuk dihargai dalam setiap upaya.
Melihat adanya praktik diskursif, pasti
ada tujuan yang diharapkan dari hal tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan
diatas mengenai problematika praktik diskursif diantaranya adanya penggolongan
kelas unggulan. Melalui penggolongan tersebut memang memiliki tujuan yang baik
yaitu agar tujuan yang diinginkan dapat terwujud secara maksimal, namun pada
kenyataanya dengan adanya hal tersebut akan menimbulkan deskriminasi antar
setiap individu. Contoh lain yaitu adanya penyebutak pada anak yang cerdas dan
bodoh, hal tersebut memang dianggap lazim, namun pada dasarnya hal tersebut
merupakan suatu kekeliruan yang akan berdampak pada psikis peserta didik.
6.
Upaya
meminimalisir terjadinya praktik diskursif dalam pendidikan
Dalam
kaitannya dengan beberapa permasalahan atau praktik diskursif yang terjadi di
lingkungan pendidikan. Maka sudah
seharusnya kurikulum bergerak di dalamnya, sebagai jantungnya pendidikan.
Kurikulum harus mampu mengupayakan berbagai hal yang dapat menciptakan
kesetaraan dalam penerapan praktik diskurtif.
Hal yang paling utama untuk menyetarakan
penerapan praktik diskursif ialah kesadaran diri dari setiap individu atau
peserta didik. Kesadaran diri
merupakan hal yang terpenting untuk manusia, bagaimana tidak? Tanpa kesadaran
apa bisa manusia mengetahui dan mengingat hal terpenting yang terjadi dalam
hidupnya. Bagaimana bisa kita menjalani hidup yang teratur tanpa adanya sebuah
kesadaran, semua pasti memerlukan adanya kesadaran. Terutama mengenai kesadaran
diri, banyak diantara manusia tidak bisa melihat akan kesadaran diri, padahal
itu merupakan satu kesatuan yang terpenting juga dalam hidup manusia. Dengan
adanya sebuah kesadaran diri manusia bisa mengevaluasi atas apa yang terjadi
atau apa yang selama ini ia perbuat, dari yang kurang baik akan menjadi baik
bahkan jauh lebih baik. Kesadaran diri yang dimaksud disini adalah agar tidak
ada kesalahpahaman antar individu atau peserta didik dalam kaitannya dengan
praktik diskursif, agar tidak ada anggapan bahwa ada orang “pintar” dan “bodoh”
karena sesungguhnya manusia tidak ada yang bodoh, hanya saja kurangnya wawasan
dan pengetahuan yang lebih dari setiap manusia tersebut.
Selain kesadaran diri dari setiap
individu atau peserta didik, di samping itu juga tidak lupa dengan peran guru. Guru sebagai salah satu komponen dalam kurikulum memiliki
peranan yang sangat penting dalam kaitannya dengan upaya kesetaraan penerapan
praktik diskursif. Dimana orang pertama yang melakukan interaksi sosial dengan
siswa ialah guru. Guru sebagai sosok yang selalu digugu dan ditiru oleh siswa.
Sehingga apa yang dilakukan guru seolah-olah sudah menjadi tauladan bagi
siswa-siswinya. Maka dari itu segala upaya untuk menciptakan kesetaraan dalam
penerapan praktik diskursif di lingkungan pendidikan harus dimulai dari guru
itu sendiri.
Guru harus memberikan perlakuan
yang sesuai dalam kaitannya dengan praktik diskursif pada peserta didik.
Manakala seperti adanya penggolongan suatu kelas unggulan di sekolah. Di situ
guru harus memberikan perlakuan yang seharusnya tidak menimbulkan
kesalahpahaman antara peserta didik. Seperti memberikan keyakinan atau motivasi
bahwa pada dasarnya setiap manusia dilahirkan di dunia ini dengan memiliki
keunggulannya masing-masing yang dikenal dengan istilah multiple intelligence.
PENUTUP
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral
dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas
pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa
kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu pembentukan
manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang peranan penting dalam
suatu sistem pendidikan. Dari tujuan pendidikan tersebut, sudahlah jelas bahwa
melalui kurikulum dapat mengantarkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan
kecerdasan melalui materi yang sudah dirancang dalam kurikulum. Melihat begitu
pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan, maka kurikulum harus dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Namun demikian dalam praktiknya
kurikulum banyak ditemukan ketidaksesuaian tujuan awal dari penerpan kurikulum
itu sendiri. Seperti halnya adanya problematika praktik diskursif yang terjadi
dalam pendidikan. Praktik diskurtif merupakan salah satu
dari kegiatan dalam kekuasaan. Menurut foucalt kekuasaan tidak hanya berupa
penidasan, namun dia beranggapan bahwa kekuasaan bekerja dengan pelaksanaan
normalisasi dan regulasi. Untuk
melaksanakan normalisasi dan regulasi dibutuhkan yang namanya perantara, jika
dalam bidang pendidikan maka salah satu perantaranya yaitu kurikulum.
Daftar Pustaka
Republik Indonesia. 2003. Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta
Martono,
N. (2014). Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: PT GRAFINDO PERSADA.
Susilo,
M. J. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat,
R. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar