Senin, 02 Januari 2017

KURIKULUM SEBAGAI PRAKTIK DISKURSIF



Kurikulum Sebagai Praktik Diskursif
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

Abstract
Artikel ini membahas tentang kurikulum sebagai praktik diskursif. Di mana ada beberapa isu kesalahpahaman penerapan praktik diskursif dalam dunia pendidikan dibahas. Dimuali dari konsep bagaimana kurikulum sebagai parktik diskursif dalam beberapa perspektif kemudian problematika penerapan praktif diskursif dalam dunia pendidikan dan berbagai faktor-faktor  yang mempengaruhi. Kurikulum sejatinya adalah untuk mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan
. Namun dengan adanya perspektif lain seperti kurikulum sebagai praktik diskursif telah menimbulkan berbagai macam kesalahpahaman. Dalam pembahasan ini peran kurikulum diulas apa peranannya dalam proses pendidikan dan juga sebagai ruang praktik diskursif. Pembahasan yang terahir yaitu upaya terkait dengan penerapan praktik diskursif dalam pendidikan dan kurikulum sebagai praktik diskursif.
Kata Kunci: Praktik Diskursif, Kurikulum, Pendidikan

1.        Pendahuluan
Salah satu indikator keberhasilan dalam pendidikan dapat dilihat dari kurikulum yang diterapkan dalam sekolah. Karena Kurikulum dibuat oleh lembaga pendidikan yang dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 dijelaskan, bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana-rencana pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran mencapai pembelajaran tersebut. Kurikulum juga digambarkan sebagai bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh para guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk para peserta didiknya. Jadi segala hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran dalam pendidikan telah disusun dan diatur dalam kurikulum.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Maka, kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan harus mampu menghantarkan anak didik menjadi manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil dan berbudi luhur, berilmu, bermoral, tidak hanya sebagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada murid semata-mata, melainkan sebagai aktivitas pendidikan yang di rencanakan untuk dialami, diterima, dan dilakukan (Sukmadinata dalam Susilo, 2007:9-10).
Dari tujuan pendidikan tersebut, sudahlah jelas bahwa melalui kurikulum dapat mengantarkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan kecerdasan melalui materi yang sudah dirancang dalam kurikulum. Melihat begitu pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Namun demikian dalam praktiknya kurikulum banyak ditemukan ketidaksesuaian tujuan awal dari penerpan kurikulum itu sendiri. Seperti halnya adanya problematika praktik diskursif yang terjadi dalam pendidikan.
Berbicara mengenai praktik diskursif tidak terlepas dari yang namanya pengetahuan dan kecerdasan peserta didik, karena pada dasarnya pengertian dari diskursif itu sendiri adalah berkaitan dengan pengetahuan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari kurikulum yang mampu mewujudkan tujuan pendidikan. Namun dalam praktik diskursif ini, pengetahuan dan kekuasaan adalah hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga praktik diskursif ikut terlibat dalam pelaksanaan pendidikan, di mana terjadi kekliruan penafsiran terkait tujuan kurikulum dalam pendidikan. Melalui praktik inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahan namun di anggap lazim oleh masyarakat. Seperti halnya adanya penyebutan orang “pintar” dan “bodoh” adanya pengelompokan orang cerdas dan bodoh. Dengan demikian tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai kurikulum sebagai praktik diskursif.

2.        Pemikiran Michel Foucalt mengenai praktik diskursif
Nama Foucalt tidak sepopuler Durkheim dalam kajian sosiologi pendidikan. Keduanya adalah teoritikus dari perancis yang lahir pada generasi yang berbeda. Michel Foucalt lahir di poitiers, Perancis pada 15 Oktober 1926. Foucalt adalah seorang filsuf, sejarawan, intelektual, kritikus, dan sosiologi. Pemikiran Foucalt yang paling fenomenal adalah terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilu kemanusiaan dan sistem penjara, dan seksualitas.
Dalam penelitian pendidikan, Foucalt paling dikenal pada pertengahan hingga akhir 1970-an. Pengaruh pemikiran foucalt dalam masalah pendidikan tidak dapat disangkal lagi dan berkembang dengan cepat. Ialah yang mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan pengetahuan. Dia berusaha mempengaruhi banyak pemahaman dalam cara melihat kekuasaan dan produksi pengetahuan.
Praktik diskurtif merupakan salah satu dari kegiatan dalam kekuasaan. Menurut foucalt kekuasaan tidak hanya berupa penidasan, namun dia beranggapan bahwa kekuasaan bekerja dengan pelaksanaan normalisasi dan regulasi (Hidayat, 2013). Untuk melaksanakan normalisasi dan regulasi dibutuhkan yang namanya perantara, jika dalam bidang pendidikan maka salah satu perantaranya yaitu kurikulum.
Menurut foucalt kekuasaan itu memproduksi pengetahuan (Hidayat, 2013). Sehingga penguasa membutuhkan cara untuk memproduksi pengetahuan, salah satunya dengan melalui kurikulum. Dengan kurikulum penguasa bisa memainkan perananya dengan aturan- aturan  yang dibuatnya, dengan materi yang akan diajarkan dan kebijakan- kebijakan lain yang dapat membuat keadaan seperti yang diinginkan oleh penguasa.
Secara terpisah, metode genealoginya mengenai subjek manusia, sejarah subjetivitas, dan analisisnya mengenai bagaimana hubungan kekuasaan, pengetahuan dan wacana (discours) yang merombak proses etika diri telah membuktikannya sebagai pendekatan yang sangat kuat. Konsep-konsep tersebut bermanfaat untuk mengembangkan sejarah kritis mengenai anak, siswa, dan sekolah sebagai bahan penelitian mengenai konsep-konsep pendidikan, kategorisasi, dan kelembagaan.
Foucalt menggunakan istilah wacana untuk menjelaskan sifat-sifat pengetahuan. wacana merupakan cara atau pendekatan yang digunakan individu untuk memahami dunia (sosial). Wacana tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir atau bertindak. Secara sederhana wacana juga dapat dimaknai sebagai otoritas (kekuasaan) untuk mendeskripsikan sesuatu yang dipropangandakan oleh suatu institusi.
Disini kekuasaan tidak dirtikan sebagai penguasa atau pemilik, karena Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang bekuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi atau menidas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif, tidak berkeja secara negatif dan represif, melainkan secara positif dan produktif. Kuasa memprodusir realitas , memprodusir lingkup-lingkup objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik lewat disiplin. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Kekuasaan disalurkan melalui hubungan sossial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik-buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku
Kekuasaan menghasilkan pengetahuan yang dianut (dipaksakan) pada sebagian individu, sehingga kekuasaan dan pengetahuan saling mempengaruhi satu sama lain secara langsung. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa konstitusi korelatif yang berhubungan dengan pengetahuan atau pengetahuan akan memberntuk hubungan kekuasaan diwaktu yang sama.
Analisis Foucalt mengenai pendidikan membantu para praktisi pendidikan untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan seputar standarisasi kurikulum, standarisasi ujian, proses pembelajaran, serta program manajemen ruang kelas (Jardine dalam

3.      Kurikulum sebagai praktik diskursif dalam pendidikan
Gagasan Foucault tentang konsep kekuasaan menjelaskan bahwa konstelasi kekuasaan menyerap dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan. Kurikulum merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh mereka yang berkuasa, salah satunya adalah negara. Singkatnya, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui normalisasi dan regulasi. Normalisasi dianggap sebagai upaya menyesuaikan dengan norma-norma, mengadakan norma-norma. Sementara regulasi dipahami sebagai menyesuaikan dengan aturan-aturan atau mengadakan aturan-aturan. Sehingga konsep kekuasaan menurut Foucalt menyebar dalam relasi sosial melalui praktik diskursif tempat dimana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang di terapkan. Normalisasi dan regulasi ini bekerja pada suatu taraf kehidupan manusia serta masyarakat dan berfungsi bagaimana semacam alat penyaring atau mesin sortir. 
Seiring perkembangan zaman, dunia pendidikan turut diwarnai dengan adanya kekuasaan, dimana kekuasaan sangat mendominasi. Kekuasaan disini tidak diartikan sebagai suatu hal yang berkuasa namun kekuasaan diartikan sebagai sesutu yang dapat memberikan dampak yang mengarah pada normalisasi dan regulasi. Selain itu dalam pendidikan juga telah mendapat campur tangan dari praktik diskusif. Sebenarnya, pengertian diskursif itu sendiri adalah pengetahuan atau kecerdasan. Memang benar bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah mencerdasakan kehidupan bangsa, dan untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kurikulum.
Dalam dunia pendidikan sering sekali kita menjumpai penyebutan orang pintar dan bodoh. Memang hal tersebut dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Namun jika kita telaah lebih lanjut, hal tersebut merupakan salah satu pengaruh dari praktik diskursif. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa praktik diskursif tidak dapat terlepas dari pengetahuan dan kekuasaan, karena keduanya saling berkaitan.
Yang awalnya tujuan dari diskursif itu untuk membentuk peserta didik yang memiliki pengetahuan dan kecerdasan, namun fenomena sekarang ini malah berbalik arah. Banyak sekali hal-hal yang dianggap lazim oleh masyarakat, namun sebenarnya hal tersebut merupakan kekeliruan masyarakat dalam menafsirkan suatu hal.


4.      Problematika praktik diskursif dalam pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari berlangsungnya suatu proses pembelajaran, dimana antar komponen dalam suatu sistem pembelajaran saling berinteraksi yang biasa disebut dengan kurikulum. kurikulum dapat dikatakan sebagai jantungnya pendidikan, dalam pendidikan dapat dilihat berhasil tidaknya suatu pendidikan bergantung dari keberhasilan kurikulum itu sendiri. Namun, pada akhirnya pendidikan melalui sekolah justru menjadi subyek kekuasaan baru dalam masyarakat modern. pendidikan melakukan hegemoni kekuasaan dalam proses produksi pengetahuan dan ilmu pengentahuan. Dalam hal ini, seluruh mekanisme produksi pengetahuan akan dikontrol dan dikendalikan institusi pendidikan. Ada beberapa wujud kekuasaan dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini banyak diperbincangkan mengenai berbagai permasalahan dalam proses berlangsungnya kurikulum itu. salah satunya yaitu praktik diskursif.
 Dalam buku”Sosiologi Pendidikan”  Foucalt mencontohkan bahwa pendidikan telah menetapkan berbagai bentuk standardisasi dalam proses pendidikan. Standardisasi merupakan instrumen yang digunakan sekolah untuk mengelompokkan dan mengategorikan siswa dalam beberapa golongan. Melalui standardisasi ini, sekolah mempunyai hak untuk menentukan apakah seseorang (siswa) dapat memasuki kelas atau tingkat tertentu atau tidak. Apakah ia termasuk kategori siswa”bodoh” atau “cerdas”, apakah mereka layak masuk ke bidang ilmu tertentu atau tidak, dan akhirnya, sekolah akan memiliki hak untuk menentukan “nasib” dan “masa depan”seorang individu. Foucalt menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak- kotakan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada individu (Martono, 2014).
Sebelumnya sekolah juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Mekanisme seleksi masuk sekolah menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan. Agar individu dapat menikmati fasilitas pendidikan disekolah tertentu, mereka harus memnuhi serangkaian kriteria yang telah ditentukan sekolah. Sekolah menjadi pagar utama yang memberikan penilaian atas kualitas diri individu.
Berdasarkan buku yang ditulis Martono yang dikutip dari Allen menunjukan bahwa ada pula sistem tes IQ (Intelligence Quotient) di sekolah. Tes ini merupakan wujud bekerjanya sistem kekuasaan dalam pendidikan yang mencoba memetakan dan mengurutkan kemampuan setiap individu secara individual melalui serangkaian instrumen yang terstandardisasi. Sekolah- sekolah menjadi “ruang perilaku yang terorganisasi” yang menetapkan norma- norma kemampuan divergensi terhadap anak sehingga kemampuan mereka dapat dipetakan (2014, 64-65).
Problematika lain dari praktik diskusif misalnya, kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid- muridnya satu persatu sepanjang hari sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga menjadi terkontrol, patuh dan disiplin. Kalau ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali dan sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus menerus. Disini, ruang kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya terus- menerus. Kepintaran seseoarang diukur dari raport yang ia terima enam bulan sekali, kalau buruk ia tidak akan naik kelas,dan kalau tidak naik kelas ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Disekolah akan dijumpai berbagai tata tertib yang menjadi indikator perilaku siswa. Tata tertib ini menjadi standar bagi mereka untuk dapat memahami “bagaimana menjadi siswa yang baik dan patuh”, sehingga tata tertib juga diposisikan sebagai standar kepatuhan para murid. Untuk dapat disebut sebagai siswa yang baik, patuh dan taat, mereka harus berperilaku sesuai apa yang dituntutkan dalam tata tertib tersebut. Bila perilaku mereka mengikuti tata tertib tersebut, maka mereka dikatakan “memenuhi standar norma”. Siswa juga harus mengikuti jadwal kegiatan sehari- hari: mereka harus sampai di sekolah pada jam tertentu, memulai pelajaran, waktu istirahat, dan waktu pulang sekolah telah terjadwal dengan rapi. Penjadwalan harian diwujudkan dalam kurikulum dan jadwal pelajaran. Guru harus menaati kurikulum agar proses pembelajaran berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Siswa harus memerhatikan jadwal pelajaran: kapan ia harus berganti pelajaran; kapan saatnya mereka berpindah ruang belajar, bagaimana menentukan materi belajar di rumah ; sampai jadwal ujian juga telah ditentukan. Semua diciptakan sebagai upaya mendisiplinkan mereka. Jadwal kegiatan berfungsi membentuk individu yang taat pada waktu. Hal tersebut merupakan salah satu contoh praktik diskurtif, dimana seoarang penguasa ingin membentuk siswa yang memiliki kedisiplinan. Dengan diterapkannya aturan- aturan tersebut maka menjadi jembatan untuk mewujudkan keinginan penguasa yaitu ingin menjadikan siswanya menjadi manusia yang mempunyai kedisiplinan.


5.      faktor adanya praktif diskursif dalam pendidikan
Segala sesuatu terjadi pasti ada faktor yang menyebabkanya, begitupun juga dengan praktik diskurtif. Yang melatarbelakangi adanya praktik diskursif pada dasarnya adalah adanya keinginan dari penguasa untuk membentuk suatu subjek menjadi seperti yang diinginkanya dan keinginan tersebut diwujudkan melalui kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan.
Selain dari penguasa, faktor lain yang melatarbelakangi adanya praktik diskursif adalah karena adanya keinginan dari setiap masyarakat terkait dengan pengakuan. Pengakuan yang dimaksud disini adalah pengakuan dari setiap individu untuk dihargai dalam setiap upaya.
Melihat adanya praktik diskursif, pasti ada tujuan yang diharapkan dari hal tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai problematika praktik diskursif diantaranya adanya penggolongan kelas unggulan. Melalui penggolongan tersebut memang memiliki tujuan yang baik yaitu agar tujuan yang diinginkan dapat terwujud secara maksimal, namun pada kenyataanya dengan adanya hal tersebut akan menimbulkan deskriminasi antar setiap individu. Contoh lain yaitu adanya penyebutak pada anak yang cerdas dan bodoh, hal tersebut memang dianggap lazim, namun pada dasarnya hal tersebut merupakan suatu kekeliruan yang akan berdampak pada psikis peserta didik.

6.      Upaya meminimalisir terjadinya praktik diskursif dalam pendidikan
Dalam kaitannya dengan beberapa permasalahan atau praktik diskursif yang terjadi di lingkungan pendidikan. Maka sudah seharusnya kurikulum bergerak di dalamnya, sebagai jantungnya pendidikan. Kurikulum harus mampu mengupayakan berbagai hal yang dapat menciptakan kesetaraan dalam penerapan praktik diskurtif.
 Hal yang paling utama untuk menyetarakan penerapan praktik diskursif ialah kesadaran diri dari setiap individu atau peserta didik. Kesadaran diri merupakan hal yang terpenting untuk manusia, bagaimana tidak? Tanpa kesadaran apa bisa manusia mengetahui dan mengingat hal terpenting yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana bisa kita menjalani hidup yang teratur tanpa adanya sebuah kesadaran, semua pasti memerlukan adanya kesadaran. Terutama mengenai kesadaran diri, banyak diantara manusia tidak bisa melihat akan kesadaran diri, padahal itu merupakan satu kesatuan yang terpenting juga dalam hidup manusia. Dengan adanya sebuah kesadaran diri manusia bisa mengevaluasi atas apa yang terjadi atau apa yang selama ini ia perbuat, dari yang kurang baik akan menjadi baik bahkan jauh lebih baik. Kesadaran diri yang dimaksud disini adalah agar tidak ada kesalahpahaman antar individu atau peserta didik dalam kaitannya dengan praktik diskursif, agar tidak ada anggapan bahwa ada orang “pintar” dan “bodoh” karena sesungguhnya manusia tidak ada yang bodoh, hanya saja kurangnya wawasan dan pengetahuan yang lebih dari setiap manusia tersebut.
Selain kesadaran diri dari setiap individu atau peserta didik, di samping itu juga tidak lupa dengan peran guru. Guru sebagai salah satu komponen dalam kurikulum memiliki peranan yang sangat penting dalam kaitannya dengan upaya kesetaraan penerapan praktik diskursif. Dimana orang pertama yang melakukan interaksi sosial dengan siswa ialah guru. Guru sebagai sosok yang selalu digugu dan ditiru oleh siswa. Sehingga apa yang dilakukan guru seolah-olah sudah menjadi tauladan bagi siswa-siswinya. Maka dari itu segala upaya untuk menciptakan kesetaraan dalam penerapan praktik diskursif di lingkungan pendidikan harus dimulai dari guru itu sendiri. Guru harus memberikan perlakuan yang sesuai dalam kaitannya dengan praktik diskursif pada peserta didik. Manakala seperti adanya penggolongan suatu kelas unggulan di sekolah. Di situ guru harus memberikan perlakuan yang seharusnya tidak menimbulkan kesalahpahaman antara peserta didik. Seperti memberikan keyakinan atau motivasi bahwa pada dasarnya setiap manusia dilahirkan di dunia ini dengan memiliki keunggulannya masing-masing yang dikenal dengan istilah multiple intelligence.

PENUTUP
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa memegang peranan penting dalam suatu sistem pendidikan. Dari tujuan pendidikan tersebut, sudahlah jelas bahwa melalui kurikulum dapat mengantarkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan kecerdasan melalui materi yang sudah dirancang dalam kurikulum. Melihat begitu pentingnya peran kurikulum dalam pendidikan, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Namun demikian dalam praktiknya kurikulum banyak ditemukan ketidaksesuaian tujuan awal dari penerpan kurikulum itu sendiri. Seperti halnya adanya problematika praktik diskursif yang terjadi dalam pendidikan. Praktik diskurtif merupakan salah satu dari kegiatan dalam kekuasaan. Menurut foucalt kekuasaan tidak hanya berupa penidasan, namun dia beranggapan bahwa kekuasaan bekerja dengan pelaksanaan normalisasi dan regulasi.  Untuk melaksanakan normalisasi dan regulasi dibutuhkan yang namanya perantara, jika dalam bidang pendidikan maka salah satu perantaranya yaitu kurikulum.








 









Daftar Pustaka

Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta
Martono, N. (2014). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT GRAFINDO PERSADA.
Susilo, M. J. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, R. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar